PROBLEMATIKA
KURIKULUM DI PESANTREN[1]
Oleh:Siswanto
Belajar tentang ilmu agama (religiologi)[2]
Islam memang begitu sangat kompleks. Akan tetapi kalau dipilah-pilah bisa
dikelompokkan menjadi empat bagian kajian dalam Islam (Islamic Studies/Dirasah
Islamiyah) Yaitu: fiqih, kalam, tasawuf dan filsafah. Keempat kajian diatas
satu persatu tidak ada istilah satu makna (monologi). Contoh, fiqih
(hanafiyah, hambaliyah, syafi’iyyah dan malikiyah). Kalam juga demikian
(syi’ah, khawarij, murji’ah, mu’tazilah, asy’ariyah, maturidiyah), tasawuf
(tasawuf falsafi: tokohnya seperti ibn arabi, sukhrawardi, dan tasawuf aklaqi:
tokohnya al-ghazali, rabi’ah al-adawiyah, Mansur al-Hallaj, dan lain-lain),
sedangkan yang terakhir adalah kajian islam falsafah, tokoh-tokohnya adalah
al-Kindi, ibn Sina, al-Farabi, ibn Tuffail, ibn Rusdy, dan lain-lain.
Kajian keislaman yang begitu kompleks
seperti itu lalu bagaimana dengan pengetahuan keislaman yang kita dapatkan.
Kalau kita hanya mengadalkan penerimaan keilmuan keislaman hanya sebatas yang
ada dalam kurikulum, baik itu pondok yang cenderung flash back
pengetahuan islam klasik di abad pertengahan kering dan tiada mengulas
bagaimana perkembangan kajian keislaman di zaman modern apalagi post modern.
Kajian keislaman di surau-surau atau di pondok-pondok bukan tiada memberikan
kontribusi sama sekali, akan tetapi ilmu dasaran salafiyah yang dihasilkan dari
kitab-kitab klasik yang biasanya disebut dengan kitab kuning tiada diteruskan
pada perbandingan dari kitab-kitab kajian keislaman di zaman modern akan
menjadi kering dan kaku dalam memahami konteks realitasnya. Misalnya
karya-karya asghar Ali Engineer, Mohammad Abduh, Mohammad Iqbal, Fazlur Rahman,
Mohammad Abid Al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zayd, Aminah Wadud, Fatimah Marnisi dan
lain-lain, ini kurang mendapatkan perhatian dalam penataan kurikulum di
pesantren.
Akibatnya lulusan yang di hasilkan dari
pesantren jika berkolaborasi dengan kajian islam modern akan menjadikan sedikit
teralienasi dari masyarakat karena pengetahuan keislamannya adalah corak
pengetahuan dengan logika yang sudah tidak up to date lagi. Katakanlah
ketinggalan zaman. Padahal arus zaman tidak bisa di lawan, siapa yang tiada mau
berubah masih bersikuh terhadap keadaan logika zaman yang tidak sejalan dengan
masa sekarang tentu akan terlindas oleh perubahan zaman itu sendiri. Untuk itu
inovasi dan developmentasi dari perpaduan kajian klasik dan modern perlu mendapatkan
perhatian yang serius di kalangan praktisi pesantren.
Sekali lagi kajian keislaman abad
pertengahan bukan sesuatu yang tiada penting, akan tetapi kekolotan yang tiada
mau beradaptasi dengan perkembangan zaman akan menjadikan sikap radikalisme,
fundamentalisme, skripturalisme (tekstualisme) yang mengarah pada
tindakan-tindakan anarkisme, ekstrimisme yang lahir dari beberapa pribadi
vandalism (kedangkalan dalam berfikir).
Corak pemikiran modern apalagi post modern
lebih open minded (berfikir terbuka), toleransi dan menghargai perbedaan
sehingga bisa hidup rukun walaupun berkumpul dengan masyarakat antaragama
(Islam, Kristen, Budha, Hindu dan Kong Hucu) atau intraagama (NU, Muhammadiyah,
FPI, HTI, dan lain-lain).
Filsafat Semestinya Masuk Kurikulum Pelajar
SMP dan SMA
(Sedini Mungkin Mengenal Filsafat)[3]
Oleh:
Siswanto
Sudah beberapa hari aku tidak
menorehkan goresan penaku. Bukannya tiada bahan untuk di abadikan, akan tetapi
kemalasan adalah suatu penghalang utama bagiku. Aku sangat berkeinginan untuk
menjadi penulis yang berkekuatan tinggi, mengasah sejak dini. Akan tetapi masih
saja antara keinginan dan usaha tiada menemukan suatu keseimbangan, sehingga
apala daya gunung yang besar dan tinggi tangan tak sampai. Istilah itulah yang
tepat untuk menggambarkan keadaanku saat ini. Kenginan yang begitu menjulang
tinggi akan tetapi, sebuah usaha yang minim serta tiada daya akan menjadikan
keajaiban tidak kunjung datang.
Aku terlalu asyik dengan dunia
permainan, yang dikejar hanyalah kesenangan. Tentu saja inilah penyakit bagiku
yang terus menggerogoti keseriusan itu. Banyak kali pelajaran yang seharusnya
bisa aku ambil hikmahnya, akan tetapi kenapa aku biarkan lewat begitu saja,
bagaikan angin yang berlalu tiada guna.
Gambaran perasaan dan keadaan ini,
jelas sekali selalu terulang dalam tulisan dan kegelisahanku. Sebetulnya apa
sih arti dari suatu kehidupan itu? Sebuah pertanyaan yang terus terulang
sepanjang zaman akan kepribadian seseorang. Pada akhirnya semuanya akan menemui
pertanyaan ini didalam jiwanya, siapapun itu orangnya. Ada yang serius mencarinya, ada yang setengah-setengah
bahkan ada pula yang cuek bebek atas kegelisahan itu, sehingga dia terus
diperbudak keinginan glamornya sebuah gegap gempitanya suatu dunia.
Apa yang seharusnya aku cari? Apakah
yang kuinginkan ini berguna di akhir masa kehidupan? jangan-jangan salah jalan.
Yang ku anggap berarti ternyata halusinansi belaka, yang kuanggap tiada guna
ternyata suatu hal utama. Hidup… hdup?
Memang sebuah misteri, akan tetapi kadang tersingkap sebentar, hilang lagi.
Memulai melihat kedalam diri, akhirnya melirik keluar diri lagi.
Diri itu penting, siapa yang tiada
tahu dirinya akan tersesat selamanya. Bagaimana dia bisa tahu akan makna
kehadirannya jika ia tiada tahu akan dirinya. Sebuah pengembaraan yang seolah
tiada ujungnya. Entahlah nanti akan terdampar sampai dimana? Ada teman yang bilang, sekolah sekarang hanya
mengajarkan sesuatu yang ada di luar dirinya, maklum jika para pelajar lebih
tahu dunia diluar dirinya akan tetapi tiada tahu bahkan mengenali akan dirinya.
Dia bertanya ini gimana solusinya? Aku mencoba untuk menjawabnya. Tentu
pelajaran filsafat harus masuk dalam jajaran kurikulum, karena banyak sekali
pelajar yang kurang tahu akan potensi yang baik didalam dirinya, sehingga
maklum sekali ketika disuruh memilih jurusan yang pantas dan baik bagi masa
depannya kebingungan, harus memilih jurusan atau berkosentrasi yang arahnya
kemana? Ini bagi saya adalah problem yang harus cepat disadari oleh banyak
kalangan akdemisi, sehingga anak-anak tahu akan potensi yang ada didalam
dirinya.
Kuteringat dengan seekor elang yang
sejak kecil, ikut ayam betina yang banyak sekali anaknya. Sang elang ikut
merasa bahwa ayam tersebut adalah ibunya, akan tetapi lama-kelamaan elang itu,
mulai ahgak besar, melihat keatas banyak burung yang bisa terbang. Akhirnya
sang elanbg tadi mencoba beberapa kali untuk mengepakkan sayapnya berkali-kali,
semula hanya beberapa meter ia bisa terbangkan diri, lama kelamaan akhirnya
sang elang itu baru tahu akan potensi dirinya, bahwa ternyata ia pun bisa
terbang sebagaimana banyak burung yang dilihatnya ketika berterbangan.
Begitu pula kiranya dengan para
pelajar sekarang sedini mungkin harus mengetahui potensi atau bakat yang ada
didalam dirinya, dia belajar bukan karena proyeksi orang tuanya, akan tetapi
belajar dengan sungguh-sungguh karena merasa cocok dengan keahliannya. Mungkin
pertama adalah hobby, bisa jadi belajar yang karena didasari oleh keinginan dan
merasa enjoy, akan membawa dampak positif bagi sang pelajar karena merasa itu
adalah dunia yang tepat baginya.
Kenapa kok harus filsafat yang dini
harus diperkenalkan pada mereka, karena banyak sekali para tokoh besar di
dunia, sedini mungkin sudah berkenalan dengan ide-ide besar kalangan filosof
yang begitu kritis dan mendalam dalam menyampaikan gagasan tentang arti sebuah
kehidupan. Untuk itulah penting kiranya filsafat harus diajarkan pada kalangan
pelajar, agar dikemudian hari tidak menjadi Kendala dan terasa terlambat bagi
mereka. Dulu pelajaran bahasa inggris dianggap tidak layak bagi anak-anak SD
akan tetapi sekarang sudah menjadi kebutuhan yang mendesak bagi mereka. Bahasa
Inggris adalah ilmu alat, agar tidak buta dengan pengetahuan dari luar bahasa
negaranya. Begitu pula dengan filsafat, sedini mungkin harus diperkenalkan agar
bisa berfikir bijak dan kritis terhadap suatu keadaan yang ada disekelilingnya.
Bagaimana
caranya mencerdasakan anak, dari “three quotient”. IQ (Intelectual
Quotient) kecerdasan akalnya, EQ (Emosional Quotient) kecerdasan
emosinya, dan SQ (Spiritual Quotient) kecerdasan spiritualnya. Tiga hal
ini harus dikuasai oleh para pelajar sekarang. Dan harus “balancing”,
karena apalah arti kecerdasan otak, jika perasaannya tiada peka dengan
lingkungan sekitarnya, begitu sebaliknya. Apalah arti kecerdasan spiritual,
jika beribadah dan bertingkah laku dalam keseharian tiada mengikuti suatu tuntunan.
Ahli ibadah, tapi emosi tiada terkontrol akan terlihat konyol dan tolol. Untuk
itulah seharusnya kurikulum lebih mengacu kesana.
Yang aku
perhatikan, sekarang yang digalakkan hanyalah, smart, clever and able. Penghargaan
hanya diberikan kepada mereka yang IQ-nya tinggi, tapi bagaimana dengan mereka
yang EQ dan SQ-nya tinggi akan tetapi IQ-nya agak rendah? Ini yang kurang
diperhatikan. Makanya tidak heran, jika pada tahun 80-an di Amerika pernah
terjadi suatu gerakan yang menggugat pada pendidikan, yaitu menyamakan orang
pintar dengan iblis yang begitu cerdik dan pandai dalam menipu.
Lowayu, 14- 02-2010, Bilikku, pukul 02: 58
PENDIDIKAN BERKARAKTER[4]
Oleh: Siswanto
Terdapat buku “descholing society”
karya Ivan Illich, yang menyatakan bahwa sekolah bagaikan “prison”
(penjara) bagi para siswa. Makanya kadang tidak heran jika ketika mereka lulus,
mereka melampiaskan kebebasannya dengan aksi coret-coret. Sekolah terkesan
tidak mampu menanamkan nilai-nilai kemanusian. IQ (Intelgence Quotient)
di kedepankan sedangkan EQ (Emocional Quotient) dan SQ (Spiritual
Quotient) terkesampingkan. Banyak yang lulus UN (Ujian Nasional), tapi
tidak lulus UK (Ujian Kehidupan). Kalau dilihat dari HDI (Human Development
Index) Indonesia masih bertengger dalam peringkat 110 dari 177 negara
lainnya.
Akhirnya di dunia barat terdapat
koreksi yang tajam terhadap masalah pendidikan. Thomas Lickona, dalam bukunya “The
Riturn of Caracter Education”, di jelaskan bahwa pendidikan berkarakter
adalah suatu keharusan. Dalam hal pendidikan berkarakter, terdapat tiga unsur,
menurut Ryan dan Bohlin: Knowing the good (mengetahui kebaikan), loving
the good (mencintai kebaikan) dan Doing the good (menjalani/kan
kebaikan).
Karakter ada yang bilang, “tabiat/
perangai” atau kepribadian yang bisa di nilai. Terus apa bedanya antara istilah
karakter, moral dan akhlak. Moral lebih cenderung ke etika (penyampaian nilai
yang benar atau salah), sedangkan akhlak lebih mengacu pada pesan prilaku
keagamaan dan yang di tonjolkan adalah nilai-nilai yang positif sehingga
menjadi tindakan dalam keseharian. Tapi dalam tataran pemaknaan realitas,
karakter hanya istilah yang di adopsi dari barat sedangkan akhlak adalah dari
sudut padang keislaman. Inti dari pendidikan berkarakter adalah “pembiasaan
atau habitus yang baik”.
Lalu bagaimana dengan Dunia
pesantren?
Refleksi atas “Lingkaran Pendidikan” Vs
“System Pendidikan”[5]
Oleh: Siswanto
A. Prolog:
Realita
Terlihat
kenyataan anak-anak sekarang, dari hari kehari kenakalan anak-anak semakin tak
terbendungkan. Sopan santun sudah mengalami erosi yang menajam, bahkan dalam
belajarpun keseriusannya telah diambang batas yang paling bawah.
Lingkungannya
sebetulnya sudah bagus. Aku melihat anak-anak sekarang sudah terkondisikan oleh
system lingkaran pendidikan. Pagi jam 06: 30 berangkat ke sekolah, sampai jam
12: 30 baru pulang. Waktu 30 menit di buat mandi dan makan, tak ada rehat,
setelah itu mempersiapkan diri berangkat kursus bahasa Inggris di LPBA mulai
jam 13:00 - 14:30, setelah itu pulang, 30 menit untuk mandi, makan, lalu
siap-siap berangkat lagi ke pondok atau mushollah mengaji TPQ (taman pendidikan
al-Qur’an) pukul 15: 00-16: 00 setelah itu pulang, dirumah mandi, dan makan,
ada sedikit waktu kadang di buat nonton televise sampai menjelang magrib.
Ketika habis sholat magrib mereka mempesiapkan diri lagi untuk les bimbel
(bimbingan belajar), sampai jam 20: 00-an mereka baru selesai. Pulang sampai
dirumah, tak terbayangkan bagaimana lelahnya mereka dalam melakukan
aktivitasnya, kalau belum mengantuk mereka pasti nonton televise, tapi kalau
merasa kecapekaan akan dengan cepat tertidur pulas. Karena seharian mereka
telah banyak memforsir tenaga dan pikirannya.
Begitu terus
mereka jalani. Menjadi rutinitas harian, itu kalau hari-hari biasa. Tapi kalau
di hari libur, hari jum’at bagi anak-anak madrasah. Apakah mereka
mengistirahatkan tenaga dan pikirannya? Tidak. Bahkan banyak sekali kegiatan
ekstra yang mereka jalani. Pagi ikut latihan ke-pramuka-an, drum band, sampai
jam 10: 30-an. Menjelang jam 15: 00-an mereka mengikuti belajar computer, ada
pula yang ikut belajar sepak bola, sampai jam 16: 30-an. Pulang sampai
menjelang magrib setelah itu mempersiapkan diri lagi untuk mengikuti bimbel
(bimbingan belajar). Pulang sekitar jam 20:00-an, sampai rumah, kecapekan
karena aktivitas yang begitu padat dijalaninya seharian, tertidurlah dengan
pulasnya mereka.
B. Identifikasi
permasalahan
Pertanyaannya:
lalu kapan waktu mereka untuk bermain? Terus kenapa aktivitas yang sudah
terkondisikan begitu padat dalam “lingkaran pendidikan” kok masih belum ada
tanda-tanda prestasinya? Ada apa dengan pendidikan kita?
Hemat penulis
adalah mereka “bermain” didalam ruang belajarnya. Jadi belajar “sambil
bermain”, bisa juga terbalik “bermain sambil belajar”, bahkan yang paling parah
adalah mengarah pada “belajarnya bermain-main”, tidak ada keseriusan yang
Nampak dalam diri mereka. Time schedule-nya sudah bagus, ter-management
dengan baik yaitu mengarah pada “system lingkaran pendidikan”. Akan tetapi yang
masih bermasalah adalah “system pendidikannya”.
C. Sebuah
Tawaran Jalan keluar
1. Ada
langkah-langkah dan target
Seharusnya ada micro
teaching yang baku dan management pendidikan yang rapi sehingga mengarah
pada pembibitan dalam berprestasi, apa target yang mau diraih? Kalau waktu yang
ditentukan dalam target ternyata kok meleset, harus cepat-cepat di evaluasi. Di
cari apa yang jadi penghambat? dan bersama-sama kalau sudah bisa
mengidentifikasi permasalah yang “menjadi penghambat” itu, harus dicari pula
jalan keluarnya. Kalau dalam dewan pengajar tak mampu mencari solusi atau jalan
keluarnya, cari seorang konsultan untuk meng-share-kan permasalahan yang
terjadi. Intinya cari petunjuk pada yang ahli, bukan lewat jalan yang bersifat
klenis, tapi yang rasional atau masuk akal. Katakanlah mendatangkan atau kita
yang datang pada ahli konsultan sekolah. Nah, kalau sudah mendapat jawabannya,
rapatkan lagi barisan untuk mengaplikasikan dalam sebuah program demi
menyingkirkan penghambat dari prestasi yang telah di target-kan.
Untuk menopang
dan menyalurkan bakat prestasinya
2. Harus
ada Media (bulletin, jurnal atau majalah).
Untuk menyalurkan
bakat dalam dunia tulis menulis-menulis harus ada media untuk menulis. Media
ini disamping sebagai pembakit ruh untuk menulis, sehingga ter-upayakan dan
terlestarikan “budaya menulis”, juga bisa sebagai perbendaharaan koleksi
perpustakaan. Semua siswa saya kira akan bangga kalau tulisannya masuk dalam
media, diabadikan dalam sebuah karya, bulletin, jurnal ataupun majalah. Dengan
demikian mereka akan termotivasi dalam hal tulis-menulis.
Dalam lingkup
yang kecil bisa dalam bentuk bulletin, ini kalau satu unit lembaga, (misalnya
khusus RA sendiri, MI sendiri, MTs sendiri atau SMA sendiri). Bisa pula dalam
bentuk yang lebih luas, katakanlah untuk satu yayasan Hidayatus Salam, nah ini
baru dalam bentuk jurnal atau majalah.
3. Adakan
Kompetisi (sebagai ajang unjuk kebolehan/wawasan)
Lomba membaca
puisi, cerdas cermat, berpidato (target untuk pildacil), adanya kompetisi akan
memompa semangat untuk berkembang. Sekarang masyarakat demam audisi, nah di
dalam audisi kompetisi itulah nanti akan diketemukan banyaknya bakat yang
terpendam.
4.
Maksimalisasi Ekstrakurikuler
Banyaknya
ekstrakurikuler (voly, sepak bola, drum band, madding, computer, pramuka,
bimbel) yang di ikuti para siswa, harus selalu dievaluasi. Jangan terkesan ada
pembiaran. Yang sudah berjalan dengan baik di teruskan, yang masih belum
maksimal di evaluasi dan dicarikan jalan keluar. Selama ini ekstrakurikuler
tidak begitu berkembang dikarenakan ada anggapan itu adalah pelajaran
sampaingan, yang hukumnya setaraf dengan sunah, bukan kewajiban untuk dilakukan
oleh para pelajar. Padahal dari banyaknya ekstrakurikuler itulah kreativitas
siswa akan bisa berkembang.
Ahad, 04
Maret 2012.
PAGUYUBAN: SUDAHKAH
SESUAI HARAPAN?
(Refleksi atas “Gerak
Liar” Paguyuban)
Oleh: Siswanto*
Kredibilitas
seorang guru dipertaruhkan. Adanya paguyuban wali murid, ternyata masih belum
bisa memberi harapan, juga belum bisa menjadikan sebagai jawaban dari segala
kebuntuan. Kesenjangan antara wali murid dengan guru memang bisa menjadikan
masalah, tapi terlalu dekatnya wali murid dan guru “tanpa aturan” juga ternyata
bisa “blunder” dan menimbulkan masalah baru yang tak kalah kronisnya.
Kehormatan atau kredibilitas seorang guru sekali lagi benar-benar
dipertaruhkan.
Kami tahu maksud
dari kepala sekolah membentuk sebuah paguyuban adalah, ingin menjadikan orang
tua semakin peduli terhadap perkembangan belajar anaknya disekolah, tahu
informasi yang ada disekolah, serta tukar pikiran antara wali murid dan wali
kelasnya terjalin dengan seirama, serta yang terpenting adalah bisa “memajukan”
sekolah. Tapi dalam perjalannya apakah itu semua sudah bisa tercapai? Niat yang
semulia itu tentu wajar dijadikan rujukan, tapi yang pernah aku kawatirkan
benar-benar terjadi. Wali murid semakin masuk dalam “lingkaran” kebijakan
sekolah. Wali murid sudah berani “mengatur” guru-gurunya.
Disinilah akar
masalahnya. Tiada aturan yang mengikat. Batas-batas aturan itu hanya sebatas
lisan. Tak ada sanksi maupun teguran akan menjadikan sekedar “pepesan kosong”.
Mereka (paguyuban) dengan mudahnya “menegur” guru-gurunya, sedangkan “kita”
(guru-guru) tidak ada hak untuk “menegur” mereka. Fungsi “kepala sekolah” telah
diambil alih oleh mereka. Bahkan mereka semakin “berani” melewati pagar-pagar
batas kesopanan. Akhirnya mereka bukannya memberi “masukan”, akan tetapi
bersifat “memerintah” atau “instruksi”. Bukan memberi “saran”, akan tetapi
memberi “teguran”. Bisa dikatakan mereka telah berubah arah menjadi atasan atau
“pengurus” yayasan. Apakah memang demikian fungsi dari paguyuban yang
diharapkan?
Seharusnya ada
“prosedur” yang jelas. Ketika ada masalah bagaimana mereka tidak “menyerang” kepribadi
pengajar orang per orang secara “liar”. Dengan tidak “elegannya” kadang “di
hadang ”ditengah jalan” mintak waktu untuk “bicara”, bukannya “silaturahim”
malah terkesan “dhalim”. Jadi disembarang tempat bisa “ngomong”
sama guru yang ada sangkut pautnya dengan anaknya. Apakah tidak ada tempat yang
lebih baik selain “ditengah jalan” dan apakah ini yang diharapkan dari
paguyuban?. Pertemuan wali murid-wali kelas “bulanan” ternyata masih belum bisa
menjadi jawaban. Padahal, kalau benar-benar dimaksimalkan seharusnya bisa
dijadikan media “sharing” bila ada permasalahan. Tapi kenyataannya tidak
demikian, mereka masih menggunakan media tempat lain (di tengah jalan).
Sikap yang
demikian kadang masih “mending”, ada juga yang kelewat batas, yaitu
lewat “sms” dengan bebas dan pengecutnya melontarkan kata-kata yang tiada
tertata rapi dan elegan, bahkan terkesan sampai liar diluar batas ambang
ketidaksopanan (tanpa nama jelas pula). Mereka dengan entengnya menggunakan
nada “protes dan menyerang” atau “mengintimidasi”. Ini meresahkan, bahkan bisa
dikatakan sebagai terror. Jangan sampai Kita sebagai guru menjadi tidak
nyaman lagi. Kita sudah tidak bisa berkonsentrasi mengajar lagi, tidak fokus
pada perkembangan anak-anak atau pada pelajaran mereka lagi, kita justru merasa
ada yang merong-rong dan bahkan bisa menjadi penghambat bagi
kemajuan sekolah ini. Akhirnya kita tidak hanya menghadapi “masalah” yang ada
sangkut pautnya dengan “anak-anak” didik kita, tapi juga memikirkan dan
kosentrasi pula pada masalah “orang tua” mereka. (dalam hati kadang ku
berfikir, gaji tak seberapa tapi tekanan batin begitu menggelora).
Tawaran Jalan Keluar (solusi)
Untuk itu
Harusnya ada “managemen konflik” yang bagus. Ketika ada masalah, mereka harus
jelas mengadu atau ngomong kemana? Penyampaian masalah kalau dengan cara
elegan ada kemungkinan kita akan dengan lapang dada untuk menerima dari segala
kesalahan, sebaliknya kalau dengan cara yang “liar” kita justru akan sulit
untuk mendengar. Pertanyaannya: Kita yang “mengatur” atau yang “diatur”
mereka?. Dibawah ini kami tawarkan beberapa jalan keluar dan kiranya sudi untuk
dipertimbangkan;
1.
Di
Bentuk “Badan Kehormatan” dan “Jubir Sekolah”.
Harus ada “badan
kehormatan” dewan guru. Katakanlah begini, kita bentuk itu anggotanya siapa
saja. Mereka yang menampung segala pengaduan atau keluhan dari luar, dan biar
jelas yang berhak menjawab harus ditentukan siapa yang menjadi jubir
(Juru bicara) dari sekolah ini. Juga
harus ada pula “call center” pengaduan, atau “kotak saran”. Kita
berikan fasilitas pada mereka untuk menyampaikan “unek-uneknya” pada
“prosedur” yang kita tentukan bersama.
2.
Dokumentasi
meeting dan “evaluasi bulanan”.
Kalau kepala sekolah
mengadakan pertemuan dengan paguyuban, sebelumnya harus diadakan pertemuan juga
dengan dewan guru, ada tawaran barangkali ada titipan dari kami untuk mereka.
Sebaliknya jika wali murid mengadakan pertemuan dengan wali kelas, apa yang
disampaikan atau hasil dari pertemuan itu barangkali “masukan” buat kita,
seharusnya dilaporkan pada kepala sekolahnya. Apa “oleh-oleh” dari pertemuan
itu? Juga harus ada “notulenisasi atau dokumentasi” bukan sekedar secara lisan
(wali kelas menulis di buku harian yang telah disediakan, begitu pula kepala
sekolah harus menulis dari semua laporan wali kelas yang telah disampaikan).
Sehingga diketahui Apa masalah dari kelas 1-6 bulan ini? lalu diagendakan dalam
“evaluasi bulanan” bersama dengan dewan guru.
Terjadi ketidakseimbangan
peran, kalau ada “keberhasilan” apakah sudah ada “apresiasi”?, sebaliknya kalau
ada kesalahan malah saling “menghujat” dan “saling menyalahkan” bahkan ada yang
terkesan “cuci tangan”. Ini tidak boleh dibiarkan secara berlarut-larut. Kalau
masalah kecil tidak segera diselesaikan secara cepat, maka akan tinggal
menunggu “bom waktu” yang meledak dan akan menjadi masalah yang besar bagi kita
semua.
Bukannya kita
haus dengan “kehormatan”, tapi “harga diri” guru harus dilindungi dan
dipertahankan. Jangan sampai budaya “demokrasi” yang kita tawarkan pada mereka
menjadi terkesan “anarki” (tidak dalam bentuk serangan atau hantaman fisik,
tapi “menggempur” ruang privasi). Guru sekarang sudah terbatasi, tidak boleh
menekan secara fisik (mencubit atau menyentuh anak-anak), yang bisa kita lakukan
adalah hanya lewat pleasure (menekan) dalam bentuk “peraturan”. Untuk
itulah mari kita bentuk aturan yang lebih jelas bagi “kita” dan “mereka”.
Minimal kita berusaha men-sadar-kan fungsi kita sebagai “guru” dan
men-sadar-kan fungsi mereka sebagai “orang tua”. Pendek kata tahu perannya
masing-masing.
Manusia
Sosial
Keagamaan
Pendidikan
[1] Dipresentasikan di Ponpes. Al-Muhtarom dalam kajian Dirasah
Islamiyah, pada tanggal 27 Juli 2011
[2] Istilah regiologi kadang dipahami dalam artian filsafat
agama. Baca Abdul Karim Sorous, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama,
terj: Abdullah Ali (Bandung: Mizan, 2002), 97.
[3] Disampaikan pada tanggal 09 November 2011 pada kelas “musyawirot”
di Pon. Pes Al-Muhtarom
[4] Disampaikan di Pon.Pes Al-Muhtarom, Rabo, 24 Januari 2012.
[5] Disampaikan pada kelas “musyawirot” di Pon.Pes Al-Muhtarom, Tanggal
11 April 2012
No comments:
Post a Comment