Sunday 25 January 2015

APAKAH TUMBUHAN JUGA “MENGELUH”?


(Untaian Setetes Makna Iman dan Istiqomah)[1]
Oleh: Siswanto

عن أبي عمرو وقيل : أبي عمرة سفيان بن عبدالله الثقفي رضي الله عنه – قال : يا رسول الله , قل لي في الإسلام قولاً لا أسأل عنه أحداً غيرك, قال " قل آمنت بالله ثم استقم " رواه مسلم

Dari Abu ‘Amrah Sufyan bin ‘Abdullah radhiyallahu anhu, ia berkata : "Aku telah berkata : ‘Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku tentang Islam, suatu perkataan yang aku tak akan dapat menanyakannya kepada seorang pun kecuali kepadamu’. Bersabdalah Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : ‘Katakanlah : Aku telah beriman kepada Allah, kemudian beristiqamalah kamu’ “. [Muslim no. 38]

Masa panen kali ini, jika tiada mendung maka “panas” matahari seakan siap membakar diri. Begitu panas menyengat terasa tak sekedar hangat. Tak sekedar itu aku merasakan diri, tapi banyak mulut yang menyatakan demikian. Mereka yang pada umumnya memanen, pasti mengatakan atas beberapa keluhan “panas” yang seakan tak wajar.
Apakah ini yang dinamakan “global warming”? bisa jadi memang iya. Dulu ladang dan sawah udaranya terasa sejuk dan terik matahari yang hangat tak menyengat, kini berubah suasana. Petani tak sekedar merintih atas jerih payah memanen hasil dari keringatnya, tapi juga “keadaan” alam yang begitu melelahkan dan bahkan mungkin merasakan “tersiksa” oleh cuaca alam yang tak tahu apa penyebabnya.
Keluhan demi keluhan “kepanasan” begitu menggema dalam telinga. Aku lalu berfikir, “manusia yang bisa berpindah tempat saja begini cerewetnya, lalu bagaimana dengan semua tumbuh-tumbuhan yang ketika ada panas yang begitu menyengat tiada bisa berpindah tempat untuk sekedar berteduh”, pendek kata manusia bisa mencari tempat yang aman dari sengatan panas, sedangkan tumbuhan tidak. Apakah mereka juga ngedumel dan grundel seperti manusia yang banyak mengeluh? Atau memang sudah menjadi “kodrat” yang mereka siap menerimanya? Apa benar mereka tidak mengeluh dan merengek layaknya manusia?
Aku benar-benar tidak bisa membayangkan, apabila keadaan tumbuhan yang tiada bisa berpindah tempat itu juga dialami manusia. Mungkin tak sekedar “mengeluh” dan merengek lagi pada Tuhan, tapi bisa jadi malah “menghujat” Tuhan atau bahkan tak akan mempercayai adanya Tuhan disebabkan tidak bisa menerima “keadaan”.
Sempat juga terfikir, “bagimana ya Tuhan, mendengar keluhan-keluhan manusia ini? ada yang minta di kasih mendung dan hujan karena mereka lagi memanen atau menanam, ada juga yang mintak panas karena mereka lagi menjemur hasil panenan atau pakaiannya, ada yang meminta agar dibuat suasana “cerah” karena dalam keadaan bersantai ria, begitu banyaknya permintaan dari hamba yang kadang sedikit “memaksa” Tuhan dalam do’a-doa yang di munajatkan. Pertanyaanya; apakah Tuhan dipaksa? Tentu tidak, tapi apakah “geli” mendengar banyak macam aspirasi dari hambanya? Bisa jadi iya, atau bahkan Tuhanpun “tersenyum” melihat banyak variasi tingkah laku dari hasil kreasinya.
Kalau keluhan itu wajar dalam batas kelemahan kemampuan yang memang dimiliki manusia tersalurkan dalam do’a orang yang beriman, tiadalah mengapa. Karena insan secara universal adalah makhluk yang do’if (lemah), justru adanya kelemahan itulah dia berkeluh kesah pada Tuhannya. Sehingga yang terdengar adalah “warna warni do’a (harapan)” oleh hamba pada sang Khaliq-nya.
Untuk itu menjadi orang yang beriman secara utuh tak semudah yang dibayangkan, butuh perjuangan. Qul amantu billah tsummastaqim (katakanlah “aku beriman kepada Allah” lalu beristiqomahlah). Istiqomah disni adalah “konsisten”. Kalau sudah menyatakan “beriman”, harusnya dibuktikan, tak sekedar pernyataan verbal. Nah untuk membuktikan kebenaran “beriman-nya” kita harus tahu ciri-ciri dari orang yang beriman. Terdapat sabda nabi:
من كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليقل خيراً أو ليصمت , ومن كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليكرم جاره, ومن كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليكرم ضيفه
Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya

Kalau tak bisa demikian berarti “iman” kita di pertanyakan. Maka akan “menjadi bohong besar”, mengatakan “beriman” jika sikap dan kepribadian kita tak sesuai dengan rambu-rambu ciri yang di lakukan oleh orang yang beriman.
Tapi kita seringkali mengabaikan sisi spiritualitas ibadah kita. Jika masa kanak-kanak sekarang menghafal do’a-do’a, remaja mengetahui teks dan artinya, ketika sudah dewasa dan tua apakah kita sudah menghayatinya. Seandainya ada raport khusus yang menangani spiritualitas kita, mungkin banyak sekali dari kita yang tidak naik derajat. Kita justru jalan di tempat, contoh sholat, apakah kita sudah merasakan kenikmatan (manisnya) sholat. Ataukah justru, kita masih terpaksa seperti yang kita alami dimasa kanak-kanak.
Contoh: Sholat fajar: kata Nabi; pahalanya lebih dari dunia seisinya. Percayakah kita dengan hadist nabi itu, kalau percaya kenapa kita begitu berat melakukannya. Bayangkan kalau ada saudagar kaya raya mengadakan lomba “barang siapa yang mau melakukan sholat fajar (qobliyah subuh) akan mendapatkan sapi satu”, kalau kita percaya pada saudagar kaya itu maka kita akan dengan senang hati berlomba-lomba untuk melakukan sholat fajar sebelum subuh, walaupun tantangannya adalah melawan “kemalasan” untuk bangkit dari tidur (alias bangun) asalkan kita mendapatkan satu sapi, hari ini. Misalnya kita setiap hari diwaktu pagi mendapatkannya, maka satu bulan kita akan mempunyai 30-an sapi, wah pasti kaya raya kita. Itupun kalau kita percaya pada janji (pernyataan) si saudagar kaya itu.
Pertanyaannya: apakah kita percaya dengan janji Allah “akan memberi ganjaran (pahala) bumi seisinya”? kalau kita percaya dengan sepenuh hati bahwa Allah tidak akan pernah ingkar terhadap janjinya, maka kita tentu tidak akan merasa berat “melakukannya”. Berhubung kita masih banyak yang “mamang” (ragu-ragu) terhadap janji Allah yang tidak diberikannya secara langsung itu, kita menjadi begitu berat, bahkan begitu meremehkan sholat sunah itu. Padahal itu adalah sebagian dari sifat rahim-Nya Allah, kenapa orang yang pahalanya banyak tidak kelihatan, begitu juga orang yang banyak melakukan dosa juga tidak diperlihatkan.
Kita suka ngerumpi (ngegosip), percayakah kita terhadap radarnya Allah (malaikat rakib dan atid) yang selalu memantau kemanapun kita melangkah. Kalau kita percaya (haqqul yaqin) kita semua akan selamat. Tak berani untuk berbuat yang dilarang oleh Allah, sekali lagi kalau kita percaya. Begitu juga dengan verbal (perkataan) kita. Berbohong ada yang bilang “enaknya” sebentar, tapi “susahnya” begitu lama. Sebaliknya jujur, “susahnya” sebentar, akan tetapi “enaknya” begitu lama. Nah kita pilih yang mana?
Sudahkah kita beriman??? bukan hanya secara verbal (perkataan), visual (penglihatan), dan audotorial (pendengaran) atau bahkan manipulasi kinetikal (harokat/gerakan)????




[1] Disampaikan di Pon.Pes Al-Muhtarom pada kelas “Musyawirot”, Rabo, 28 maret 2012

No comments:

Post a Comment

PONPES AL-MUHTAROM NGUNDUH MANTU

LOWAYU, 19/09/2016. IRING-IRINGAN SHOLAWAT BADAR GEMURUH DI LANTUNKAN GROUP SHOLAWAT AL MUBASYIROH DENGAN DI IRINGI REBANA UNTUK MENYAMBUT...