Oleh: Siswanto
عن أبي عمرو وقيل : أبي عمرة سفيان بن
عبدالله الثقفي رضي الله عنه – قال : يا رسول الله , قل لي في الإسلام قولاً لا
أسأل عنه أحداً غيرك, قال " قل آمنت بالله ثم استقم " رواه مسلم
Dari Abu ‘Amrah Sufyan bin ‘Abdullah radhiyallahu
anhu, ia berkata : "Aku telah berkata : ‘Wahai Rasulullah, katakanlah
kepadaku tentang Islam, suatu perkataan yang aku tak akan dapat menanyakannya
kepada seorang pun kecuali kepadamu’. Bersabdalah Rasululloh Shallallahu
‘alaihi wa Sallam : ‘Katakanlah : Aku telah beriman kepada Allah, kemudian
beristiqamalah kamu’ “. [Muslim no. 38]
Masa panen kali ini, jika tiada mendung
maka “panas” matahari seakan siap membakar diri. Begitu panas menyengat terasa
tak sekedar hangat. Tak sekedar itu aku merasakan diri, tapi banyak mulut yang
menyatakan demikian. Mereka yang pada umumnya memanen, pasti mengatakan atas
beberapa keluhan “panas” yang seakan tak wajar.
Apakah ini yang dinamakan “global warming”?
bisa jadi memang iya. Dulu ladang dan sawah udaranya terasa sejuk dan terik
matahari yang hangat tak menyengat, kini berubah suasana. Petani tak sekedar
merintih atas jerih payah memanen hasil dari keringatnya, tapi juga “keadaan”
alam yang begitu melelahkan dan bahkan mungkin merasakan “tersiksa” oleh cuaca
alam yang tak tahu apa penyebabnya.
Keluhan demi keluhan “kepanasan” begitu
menggema dalam telinga. Aku lalu berfikir, “manusia yang bisa berpindah tempat
saja begini cerewetnya, lalu bagaimana dengan semua tumbuh-tumbuhan yang ketika
ada panas yang begitu menyengat tiada bisa berpindah tempat untuk sekedar
berteduh”, pendek kata manusia bisa mencari tempat yang aman dari sengatan
panas, sedangkan tumbuhan tidak. Apakah mereka juga ngedumel dan grundel
seperti manusia yang banyak mengeluh? Atau memang sudah menjadi “kodrat” yang
mereka siap menerimanya? Apa benar mereka tidak mengeluh dan merengek layaknya
manusia?
Aku benar-benar tidak bisa membayangkan,
apabila keadaan tumbuhan yang tiada bisa berpindah tempat itu juga dialami
manusia. Mungkin tak sekedar “mengeluh” dan merengek lagi pada Tuhan, tapi bisa
jadi malah “menghujat” Tuhan atau bahkan tak akan mempercayai adanya Tuhan
disebabkan tidak bisa menerima “keadaan”.
Sempat juga terfikir, “bagimana ya Tuhan,
mendengar keluhan-keluhan manusia ini? ada yang minta di kasih mendung dan
hujan karena mereka lagi memanen atau menanam, ada juga yang mintak panas
karena mereka lagi menjemur hasil panenan atau pakaiannya, ada yang meminta
agar dibuat suasana “cerah” karena dalam keadaan bersantai ria, begitu
banyaknya permintaan dari hamba yang kadang sedikit “memaksa” Tuhan dalam
do’a-doa yang di munajatkan. Pertanyaanya; apakah Tuhan dipaksa? Tentu tidak,
tapi apakah “geli” mendengar banyak macam aspirasi dari hambanya? Bisa jadi
iya, atau bahkan Tuhanpun “tersenyum” melihat banyak variasi tingkah laku dari
hasil kreasinya.
Kalau keluhan itu wajar dalam batas
kelemahan kemampuan yang memang dimiliki manusia tersalurkan dalam do’a orang
yang beriman, tiadalah mengapa. Karena insan secara universal adalah makhluk
yang do’if (lemah), justru adanya kelemahan itulah dia berkeluh kesah
pada Tuhannya. Sehingga yang terdengar adalah “warna warni do’a (harapan)” oleh
hamba pada sang Khaliq-nya.
Untuk itu menjadi orang yang beriman secara
utuh tak semudah yang dibayangkan, butuh perjuangan. Qul amantu billah
tsummastaqim (katakanlah “aku beriman kepada Allah” lalu beristiqomahlah). Istiqomah
disni adalah “konsisten”. Kalau sudah menyatakan “beriman”, harusnya dibuktikan,
tak sekedar pernyataan verbal. Nah untuk membuktikan kebenaran “beriman-nya”
kita harus tahu ciri-ciri dari orang yang beriman. Terdapat sabda nabi:
من كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليقل خيراً أو ليصمت , ومن كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليكرم جاره, ومن كان يؤمن
بالله واليوم الاخر فليكرم ضيفه
Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka
hendaklah ia berkata baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah dan
hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan barang siapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya
Kalau tak bisa demikian berarti “iman” kita
di pertanyakan. Maka akan “menjadi bohong besar”, mengatakan “beriman” jika
sikap dan kepribadian kita tak sesuai dengan rambu-rambu ciri yang di lakukan
oleh orang yang beriman.
Tapi kita seringkali mengabaikan sisi
spiritualitas ibadah kita. Jika masa kanak-kanak sekarang menghafal do’a-do’a,
remaja mengetahui teks dan artinya, ketika sudah dewasa dan tua apakah kita
sudah menghayatinya. Seandainya ada raport khusus yang menangani spiritualitas
kita, mungkin banyak sekali dari kita yang tidak naik derajat. Kita justru
jalan di tempat, contoh sholat, apakah kita sudah merasakan kenikmatan
(manisnya) sholat. Ataukah justru, kita masih terpaksa seperti yang kita alami
dimasa kanak-kanak.
Contoh: Sholat
fajar: kata Nabi; pahalanya lebih dari dunia seisinya. Percayakah kita dengan
hadist nabi itu, kalau percaya kenapa kita begitu berat melakukannya. Bayangkan
kalau ada saudagar kaya raya mengadakan lomba “barang siapa yang mau melakukan
sholat fajar (qobliyah subuh) akan mendapatkan sapi satu”, kalau kita
percaya pada saudagar kaya itu maka kita akan dengan senang hati berlomba-lomba
untuk melakukan sholat fajar sebelum subuh, walaupun tantangannya adalah
melawan “kemalasan” untuk bangkit dari tidur (alias bangun) asalkan kita
mendapatkan satu sapi, hari ini. Misalnya kita setiap hari diwaktu pagi
mendapatkannya, maka satu bulan kita akan mempunyai 30-an sapi, wah pasti kaya
raya kita. Itupun kalau kita percaya pada janji (pernyataan) si saudagar kaya
itu.
Pertanyaannya: apakah kita percaya dengan
janji Allah “akan memberi ganjaran (pahala) bumi seisinya”? kalau kita percaya
dengan sepenuh hati bahwa Allah tidak akan pernah ingkar terhadap janjinya,
maka kita tentu tidak akan merasa berat “melakukannya”. Berhubung kita masih
banyak yang “mamang” (ragu-ragu) terhadap janji Allah yang tidak
diberikannya secara langsung itu, kita menjadi begitu berat, bahkan begitu
meremehkan sholat sunah itu. Padahal itu adalah sebagian dari sifat rahim-Nya
Allah, kenapa orang yang pahalanya banyak tidak kelihatan, begitu juga orang
yang banyak melakukan dosa juga tidak diperlihatkan.
Kita suka ngerumpi (ngegosip),
percayakah kita terhadap radarnya Allah (malaikat rakib dan atid) yang selalu
memantau kemanapun kita melangkah. Kalau kita percaya (haqqul yaqin)
kita semua akan selamat. Tak berani untuk berbuat yang dilarang oleh Allah,
sekali lagi kalau kita percaya. Begitu juga dengan verbal (perkataan) kita. Berbohong
ada yang bilang “enaknya” sebentar, tapi “susahnya” begitu lama. Sebaliknya
jujur, “susahnya” sebentar, akan tetapi “enaknya” begitu lama. Nah kita pilih
yang mana?
Sudahkah kita beriman??? bukan hanya secara
verbal (perkataan), visual (penglihatan), dan audotorial (pendengaran) atau
bahkan manipulasi kinetikal (harokat/gerakan)????
No comments:
Post a Comment