Sunday 25 January 2015

MEMPERTANYAKAN KEBIJAKSANAAN


(Refleksi atas “Bahan Baku” Penciptaan Tuhan: Api, Cahaya dan Tanah)
Oleh: Siswanto 

Apakah memang manusia itu harus ada target, tapi kalau diriku demikian seakan aku harus buat peraturan yang sedikit mengikat kebebasanku. Tapi kalau tiada target, tentu akan menjadikan diri semakin liar dalam jubah kebebasan. Banyak orang bilang keseimbangan harus dijalankan dalam hidup ini. Tapi untuk membuat seimbang itu bagaimana?
Jika dibiarkan bebas, ada potensi menjadi semakin liar dan buas. Jika dibatasi ada potensi selayaknya terpenjara dalam terali besi. Hidup-hidup kau memang misteri….???? Semisteri ketika kau tak dikatakan hidup lagi, alias mati. Lalu bagimana ini? Semua orang jelas mempunyai pertanyaan yang sesuai dengan permasalahannya sendiri-sendiri. La itulah fungsi dari hidup, jika ia tiada mempunyai masalah  berarti ia tiada hidup. Ada yang bilang  jika ingin tak punya masalah, ya mati saja. Ini banyak di praktekkan oleh mereka yang mengalami putus asa (harapan), dengan yang populer dilakukannya adalah jalan pintas alias “bunuh diri”.
Tapi hemat saya, orang yang bunuh diri yang katanya ingin lari dari masalah, apakah demikian sesungguhnya? Masih dalam tanda Tanya, tapi kalau orang yang percaya dengan agama, tentu tidaklah demikian. Justru dengan melakukan tindakan “bunuh diri” akan menimbulkan masalah yang lebih parah lagi dalam alam kematiannya. Ini sudah mulai ngetren dilakukan banyak orang. Kalau tidak “bunuh diri” sendiri, ya ngajak yang lainnya. Kadang pula “membubuh diri” orang lain. Dikira dengan demikian masalahnya akan teratasi, padahal juga tidak, justru masalah akan bertambah besar nan panjang. Sikap “bunuh diri” dan “membunuh diri” orang lain adalah tindakan yang akan melahirkan masalah besar. Bukan meringankan atau menghilangkan masalah, akan tetapi justru menambah masalah.

Banyak realita dan kenyataan hidup yang aku alami, tapi kenapa kadang pula tidak menjadikan aku naik peringkat dihadapan Allah. Kurangnya ikhlas aku dalam bertindak menjadikan aku tertatih-tatih dan semakin bikin letih. Kadang manusia pada umumnya tidak bisa di andalkan. Kalau kita mengharapkan manusia, maka kita harus siap-siap untuk kecewa. Kalau kita meminta sesuatu pada Tuhan, kok belum dikasih bukanya demikian dengan serta merta kita beranggapan bahwa Tuhan tiada berpihak dan tiada mendengarkan do’a kita. Tapi kita jusru berbalik arah bertanya dalam diri kita, percayakah kita dengan sifat “al-Hakim” (Maha Bijaksana-nya) Tuhan. Tuhan punya rencana yang terbaik bagi keberlansungan kita, tanpa sepengetahuan kita yang terbatas ini. Tuhan lebih tahu yang terbaik buat kita, itu jika kita percaya akan ‘kehakiman’ (kebijaksanaan) Tuhan.
Masih ingat tentang pertanyaan “protes”nya para malaikat pada Allah ketika menjadikan nabi Adam. Kurang sholehnya bagaimana maklhuk yang satu ini terhadap Allah, kok masih “menyangsikan” sifat “ke-Hakim-an” Tuhan. Seolah Tuhan tidak bijaksana, kenapa menciptakan nabi Adam yang digadang-gadang akan diamanati menjadi khalifah fil arld (pemimpin dimuka bumi) sedangkan adam dan anak cucunya itu suka dengan pertumpahan darah dan sebagainya. Apa jawaban Allah “Aku lebih mengetahui, sesuatu yang kalian tidak ketahui”.
Ilmunya malaikat tidak sampai melihat rahasia dibalik penciptaan Nabi Adam. Lalu mereka baru menyadari akan kelancangan pikiran “perkataan tanya/protes-nya”, dengan berkata “kami tidak tahu selain yang engkau beri tahu”. Dan untuk menguji kelebihan Nabi Adam diadakanlah “test on propertest” uji kelayakan apakah pantas Nabi Adam menjadi khalifah fil arld. Singkat cerita, nabi adam bisa menyebutkan segala nama-nama beberapa benda, sedangkan malaikat tidak mampu menyebutkannya. Nah, disitulah para malaikat mengetahui keunggulannya Nabi Adam, dan ketika mereka disuruh sujud (sebagai bentuk penghormatan) kepada nabi Adam mereka dengan senang hati dan tunduk serta taat pada Allah, mereka pun melakukannya.
(di dalam tulisan yang lain saya sebutkan Tuhan mengadakan “kompetisi” katanlah lomba cerdas cermat antara malaikat dengan nabi Adam, sedangkan jurinya adalah Allah (tentu saja tidak seperti yang ada di anekdot; “keputusan Juri tidak bisa di ganggu gugat” yang mengesankan ketidakadilan sang juri)”. Dalam tulisan itu dibaca oleh dosen saya, la berkata “ya kalau demikian Allah kan nggak adil, la yang memberi ilmu wawasan ke nabi adam kan Allah, kepada malaikatpun ilmunya dari Allah, la tentu saja kalau allah menjadikan adam yang menang ya berarti ilmu yang diberikan ke nabi adam lebih banyak dari pada malaikat, kalau begitu Allah nggak adil atau bijak lagi”, padahal maksud saya bukan mempermasalahkan “keadilan atau kebijaksanaan” Tuhan, akan tetapi Tuhan ingin menunjukkan bahwa “kreasi barunya” itu lebih bagus dan lebih baik daripada mereka (malaikat dan iblis). Tapi kalau kita berfikir secara mendalam Justru bagi saya, itulah keadilan Tuhan juga, ketika ada yang protes dan merasa lebih bagus dari makhluk baru-Nya, Allah memberi kesempatan untuk membuktikan pada mereka bahwa “kreasi baru-nya” itu adalah memang yang terbaik/ lebih baik dari sang pemrotes.

Nah, ada satu makhluk yang tidak terima dengan pengangkatan Nabi Adam sebagai maklhuk yang patut untuk dimulyakan, yaitu Iblis. Ia merasa lebih mulia dari pada Adam, karena “Ia diciptakan dari api, sedangkan nabi Adam dari tanah”. Pertanyaannya sekarang, apakah kemulyaan itu ditentukan dari “bahan”nya? Lalu apa keunggulan “api” jika di bandingkan dengan “tanah”?
Untuk soal yang pertama: jelas iya untuk barang. Barang/ sesuatu itu nilai/harganya ditentukan dari bahannya. Contoh kalau cincin itu terbuat dari bahan emas, jelas berbeda jauh harga/nilainya jika dibandingkan dengan harga cincin yang terbuat dari plastic, karet ataupun bahan logam lainnya. Semakin bahannya bagus, maka nilai/harganya juga bagus. Apakah ini juga berlaku pada “penciptaan” makhluk (manusia, malaikat, iblis)?
 Soal kedua: apa keunggulan api di bandingkan dengan tanah. Sehingga iblis ngotot menjadikan alasan yang kuat sebagai bentuk harga dirinya bahwa bahanya ia terciptakan itu menjadi ukuran identitasnya lebih “mahal” atau “mulia” dari pada (tanah) bahannya manusia. Intinya Iblis meyakini bahwa “harga dirinya” lebih tinggi dari pada “harga dirinya” nabi adam karena bahan penciptaannya?.
Ada apa dengan:
Api (iblis)--------------- dhulumat (gelap)?
Cahaya (malaikat)---------  Nur (cahaya/ terang)
Tanah (manusia)------------- dhulumat: an-nur (bisa gelap bisa juga terang)
Karena sudah larut malam dan ada yang merasa terganggu tidurnya. Jadi sudah dulu ya…
Besok kita lanjutkan lagi…..
Ditulis pada hari Senin, 06 Februari 2012.
Semestinya sudah masuk tanggal 07, karena sudah pukul: 01: 10 tengah malam

KUMPULAN MATERI STUDY ISLAM - OLEH USTADZ SISWANTO, S.Fil.I, M.Fil.I


PROBLEMATIKA KURIKULUM DI PESANTREN[1]
Oleh:Siswanto

Belajar tentang ilmu agama (religiologi)[2] Islam memang begitu sangat kompleks. Akan tetapi kalau dipilah-pilah bisa dikelompokkan menjadi empat bagian kajian dalam Islam (Islamic Studies/Dirasah Islamiyah) Yaitu: fiqih, kalam, tasawuf dan filsafah. Keempat kajian diatas satu persatu tidak ada istilah satu makna (monologi). Contoh, fiqih (hanafiyah, hambaliyah, syafi’iyyah dan malikiyah). Kalam juga demikian (syi’ah, khawarij, murji’ah, mu’tazilah, asy’ariyah, maturidiyah), tasawuf (tasawuf falsafi: tokohnya seperti ibn arabi, sukhrawardi, dan tasawuf aklaqi: tokohnya al-ghazali, rabi’ah al-adawiyah, Mansur al-Hallaj, dan lain-lain), sedangkan yang terakhir adalah kajian islam falsafah, tokoh-tokohnya adalah al-Kindi, ibn Sina, al-Farabi, ibn Tuffail, ibn Rusdy, dan lain-lain.
Kajian keislaman yang begitu kompleks seperti itu lalu bagaimana dengan pengetahuan keislaman yang kita dapatkan. Kalau kita hanya mengadalkan penerimaan keilmuan keislaman hanya sebatas yang ada dalam kurikulum, baik itu pondok yang cenderung flash back pengetahuan islam klasik di abad pertengahan kering dan tiada mengulas bagaimana perkembangan kajian keislaman di zaman modern apalagi post modern. Kajian keislaman di surau-surau atau di pondok-pondok bukan tiada memberikan kontribusi sama sekali, akan tetapi ilmu dasaran salafiyah yang dihasilkan dari kitab-kitab klasik yang biasanya disebut dengan kitab kuning tiada diteruskan pada perbandingan dari kitab-kitab kajian keislaman di zaman modern akan menjadi kering dan kaku dalam memahami konteks realitasnya. Misalnya karya-karya asghar Ali Engineer, Mohammad Abduh, Mohammad Iqbal, Fazlur Rahman, Mohammad Abid Al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zayd, Aminah Wadud, Fatimah Marnisi dan lain-lain, ini kurang mendapatkan perhatian dalam penataan kurikulum di pesantren.
Akibatnya lulusan yang di hasilkan dari pesantren jika berkolaborasi dengan kajian islam modern akan menjadikan sedikit teralienasi dari masyarakat karena pengetahuan keislamannya adalah corak pengetahuan dengan logika yang sudah tidak up to date lagi. Katakanlah ketinggalan zaman. Padahal arus zaman tidak bisa di lawan, siapa yang tiada mau berubah masih bersikuh terhadap keadaan logika zaman yang tidak sejalan dengan masa sekarang tentu akan terlindas oleh perubahan zaman itu sendiri. Untuk itu inovasi dan developmentasi dari perpaduan kajian klasik dan modern perlu mendapatkan perhatian yang serius di kalangan praktisi pesantren.
Sekali lagi kajian keislaman abad pertengahan bukan sesuatu yang tiada penting, akan tetapi kekolotan yang tiada mau beradaptasi dengan perkembangan zaman akan menjadikan sikap radikalisme, fundamentalisme, skripturalisme (tekstualisme) yang mengarah pada tindakan-tindakan anarkisme, ekstrimisme yang lahir dari beberapa pribadi vandalism (kedangkalan dalam berfikir).
Corak pemikiran modern apalagi post modern lebih open minded (berfikir terbuka), toleransi dan menghargai perbedaan sehingga bisa hidup rukun walaupun berkumpul dengan masyarakat antaragama (Islam, Kristen, Budha, Hindu dan Kong Hucu) atau intraagama (NU, Muhammadiyah, FPI, HTI, dan lain-lain).




Filsafat Semestinya Masuk Kurikulum Pelajar SMP dan SMA

(Sedini Mungkin Mengenal Filsafat)[3]
Oleh: Siswanto

Sudah beberapa hari aku tidak menorehkan goresan penaku. Bukannya tiada bahan untuk di abadikan, akan tetapi kemalasan adalah suatu penghalang utama bagiku. Aku sangat berkeinginan untuk menjadi penulis yang berkekuatan tinggi, mengasah sejak dini. Akan tetapi masih saja antara keinginan dan usaha tiada menemukan suatu keseimbangan, sehingga apala daya gunung yang besar dan tinggi tangan tak sampai. Istilah itulah yang tepat untuk menggambarkan keadaanku saat ini. Kenginan yang begitu menjulang tinggi akan tetapi, sebuah usaha yang minim serta tiada daya akan menjadikan keajaiban tidak kunjung datang.
Aku terlalu asyik dengan dunia permainan, yang dikejar hanyalah kesenangan. Tentu saja inilah penyakit bagiku yang terus menggerogoti keseriusan itu. Banyak kali pelajaran yang seharusnya bisa aku ambil hikmahnya, akan tetapi kenapa aku biarkan lewat begitu saja, bagaikan angin yang berlalu tiada guna.
Gambaran perasaan dan keadaan ini, jelas sekali selalu terulang dalam tulisan dan kegelisahanku. Sebetulnya apa sih arti dari suatu kehidupan itu? Sebuah pertanyaan yang terus terulang sepanjang zaman akan kepribadian seseorang. Pada akhirnya semuanya akan menemui pertanyaan ini didalam jiwanya, siapapun itu orangnya. Ada yang serius mencarinya, ada yang setengah-setengah bahkan ada pula yang cuek bebek atas kegelisahan itu, sehingga dia terus diperbudak keinginan glamornya sebuah gegap gempitanya suatu dunia.
Apa yang seharusnya aku cari? Apakah yang kuinginkan ini berguna di akhir masa kehidupan? jangan-jangan salah jalan. Yang ku anggap berarti ternyata halusinansi belaka, yang kuanggap tiada guna ternyata suatu hal utama.  Hidup… hdup? Memang sebuah misteri, akan tetapi kadang tersingkap sebentar, hilang lagi. Memulai melihat kedalam diri, akhirnya melirik keluar diri lagi.
Diri itu penting, siapa yang tiada tahu dirinya akan tersesat selamanya. Bagaimana dia bisa tahu akan makna kehadirannya jika ia tiada tahu akan dirinya. Sebuah pengembaraan yang seolah tiada ujungnya. Entahlah nanti akan terdampar sampai dimana? Ada teman yang bilang, sekolah sekarang hanya mengajarkan sesuatu yang ada di luar dirinya, maklum jika para pelajar lebih tahu dunia diluar dirinya akan tetapi tiada tahu bahkan mengenali akan dirinya. Dia bertanya ini gimana solusinya? Aku mencoba untuk menjawabnya. Tentu pelajaran filsafat harus masuk dalam jajaran kurikulum, karena banyak sekali pelajar yang kurang tahu akan potensi yang baik didalam dirinya, sehingga maklum sekali ketika disuruh memilih jurusan yang pantas dan baik bagi masa depannya kebingungan, harus memilih jurusan atau berkosentrasi yang arahnya kemana? Ini bagi saya adalah problem yang harus cepat disadari oleh banyak kalangan akdemisi, sehingga anak-anak tahu akan potensi yang ada didalam dirinya.
Kuteringat dengan seekor elang yang sejak kecil, ikut ayam betina yang banyak sekali anaknya. Sang elang ikut merasa bahwa ayam tersebut adalah ibunya, akan tetapi lama-kelamaan elang itu, mulai ahgak besar, melihat keatas banyak burung yang bisa terbang. Akhirnya sang elanbg tadi mencoba beberapa kali untuk mengepakkan sayapnya berkali-kali, semula hanya beberapa meter ia bisa terbangkan diri, lama kelamaan akhirnya sang elang itu baru tahu akan potensi dirinya, bahwa ternyata ia pun bisa terbang sebagaimana banyak burung yang dilihatnya ketika berterbangan.
Begitu pula kiranya dengan para pelajar sekarang sedini mungkin harus mengetahui potensi atau bakat yang ada didalam dirinya, dia belajar bukan karena proyeksi orang tuanya, akan tetapi belajar dengan sungguh-sungguh karena merasa cocok dengan keahliannya. Mungkin pertama adalah hobby, bisa jadi belajar yang karena didasari oleh keinginan dan merasa enjoy, akan membawa dampak positif bagi sang pelajar karena merasa itu adalah dunia yang tepat baginya.
Kenapa kok harus filsafat yang dini harus diperkenalkan pada mereka, karena banyak sekali para tokoh besar di dunia, sedini mungkin sudah berkenalan dengan ide-ide besar kalangan filosof yang begitu kritis dan mendalam dalam menyampaikan gagasan tentang arti sebuah kehidupan. Untuk itulah penting kiranya filsafat harus diajarkan pada kalangan pelajar, agar dikemudian hari tidak menjadi Kendala dan terasa terlambat bagi mereka. Dulu pelajaran bahasa inggris dianggap tidak layak bagi anak-anak SD akan tetapi sekarang sudah menjadi kebutuhan yang mendesak bagi mereka. Bahasa Inggris adalah ilmu alat, agar tidak buta dengan pengetahuan dari luar bahasa negaranya. Begitu pula dengan filsafat, sedini mungkin harus diperkenalkan agar bisa berfikir bijak dan kritis terhadap suatu keadaan yang ada disekelilingnya.
Bagaimana caranya mencerdasakan anak, dari “three quotient”. IQ (Intelectual Quotient) kecerdasan akalnya, EQ (Emosional Quotient) kecerdasan emosinya, dan SQ (Spiritual Quotient) kecerdasan spiritualnya. Tiga hal ini harus dikuasai oleh para pelajar sekarang. Dan harus “balancing”, karena apalah arti kecerdasan otak, jika perasaannya tiada peka dengan lingkungan sekitarnya, begitu sebaliknya. Apalah arti kecerdasan spiritual, jika beribadah dan bertingkah laku dalam keseharian tiada mengikuti suatu tuntunan. Ahli ibadah, tapi emosi tiada terkontrol akan terlihat konyol dan tolol. Untuk itulah seharusnya kurikulum lebih mengacu kesana.
Yang aku perhatikan, sekarang yang digalakkan hanyalah, smart, clever and able. Penghargaan hanya diberikan kepada mereka yang IQ-nya tinggi, tapi bagaimana dengan mereka yang EQ dan SQ-nya tinggi akan tetapi IQ-nya agak rendah? Ini yang kurang diperhatikan. Makanya tidak heran, jika pada tahun 80-an di Amerika pernah terjadi suatu gerakan yang menggugat pada pendidikan, yaitu menyamakan orang pintar dengan iblis yang begitu cerdik dan pandai dalam menipu.
Lowayu,  14- 02-2010, Bilikku, pukul 02: 58




PENDIDIKAN BERKARAKTER[4]
Oleh: Siswanto

Terdapat buku “descholing society” karya Ivan Illich, yang menyatakan bahwa sekolah bagaikan “prison” (penjara) bagi para siswa. Makanya kadang tidak heran jika ketika mereka lulus, mereka melampiaskan kebebasannya dengan aksi coret-coret. Sekolah terkesan tidak mampu menanamkan nilai-nilai kemanusian. IQ (Intelgence Quotient) di kedepankan sedangkan EQ (Emocional Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient) terkesampingkan. Banyak yang lulus UN (Ujian Nasional), tapi tidak lulus UK (Ujian Kehidupan). Kalau dilihat dari HDI (Human Development Index) Indonesia masih bertengger dalam peringkat 110 dari 177 negara lainnya.
Akhirnya di dunia barat terdapat koreksi yang tajam terhadap masalah pendidikan. Thomas Lickona, dalam bukunya “The Riturn of Caracter Education”, di jelaskan bahwa pendidikan berkarakter adalah suatu keharusan. Dalam hal pendidikan berkarakter, terdapat tiga unsur, menurut Ryan dan Bohlin: Knowing the good (mengetahui kebaikan), loving the good (mencintai kebaikan) dan Doing the good (menjalani/kan kebaikan).
Karakter ada yang bilang, “tabiat/ perangai” atau kepribadian yang bisa di nilai. Terus apa bedanya antara istilah karakter, moral dan akhlak. Moral lebih cenderung ke etika (penyampaian nilai yang benar atau salah), sedangkan akhlak lebih mengacu pada pesan prilaku keagamaan dan yang di tonjolkan adalah nilai-nilai yang positif sehingga menjadi tindakan dalam keseharian. Tapi dalam tataran pemaknaan realitas, karakter hanya istilah yang di adopsi dari barat sedangkan akhlak adalah dari sudut padang keislaman. Inti dari pendidikan berkarakter adalah “pembiasaan atau habitus yang baik”.
Lalu bagaimana dengan Dunia pesantren?


Refleksi atas “Lingkaran Pendidikan” Vs “System Pendidikan”[5]
Oleh: Siswanto

A.     Prolog: Realita
Terlihat kenyataan anak-anak sekarang, dari hari kehari kenakalan anak-anak semakin tak terbendungkan. Sopan santun sudah mengalami erosi yang menajam, bahkan dalam belajarpun keseriusannya telah diambang batas yang paling bawah.
Lingkungannya sebetulnya sudah bagus. Aku melihat anak-anak sekarang sudah terkondisikan oleh system lingkaran pendidikan. Pagi jam 06: 30 berangkat ke sekolah, sampai jam 12: 30 baru pulang. Waktu 30 menit di buat mandi dan makan, tak ada rehat, setelah itu mempersiapkan diri berangkat kursus bahasa Inggris di LPBA mulai jam 13:00 - 14:30, setelah itu pulang, 30 menit untuk mandi, makan, lalu siap-siap berangkat lagi ke pondok atau mushollah mengaji TPQ (taman pendidikan al-Qur’an) pukul 15: 00-16: 00 setelah itu pulang, dirumah mandi, dan makan, ada sedikit waktu kadang di buat nonton televise sampai menjelang magrib. Ketika habis sholat magrib mereka mempesiapkan diri lagi untuk les bimbel (bimbingan belajar), sampai jam 20: 00-an mereka baru selesai. Pulang sampai dirumah, tak terbayangkan bagaimana lelahnya mereka dalam melakukan aktivitasnya, kalau belum mengantuk mereka pasti nonton televise, tapi kalau merasa kecapekaan akan dengan cepat tertidur pulas. Karena seharian mereka telah banyak memforsir tenaga dan pikirannya.
Begitu terus mereka jalani. Menjadi rutinitas harian, itu kalau hari-hari biasa. Tapi kalau di hari libur, hari jum’at bagi anak-anak madrasah. Apakah mereka mengistirahatkan tenaga dan pikirannya? Tidak. Bahkan banyak sekali kegiatan ekstra yang mereka jalani. Pagi ikut latihan ke-pramuka-an, drum band, sampai jam 10: 30-an. Menjelang jam 15: 00-an mereka mengikuti belajar computer, ada pula yang ikut belajar sepak bola, sampai jam 16: 30-an. Pulang sampai menjelang magrib setelah itu mempersiapkan diri lagi untuk mengikuti bimbel (bimbingan belajar). Pulang sekitar jam 20:00-an, sampai rumah, kecapekan karena aktivitas yang begitu padat dijalaninya seharian, tertidurlah dengan pulasnya mereka.
B.    Identifikasi permasalahan
Pertanyaannya: lalu kapan waktu mereka untuk bermain? Terus kenapa aktivitas yang sudah terkondisikan begitu padat dalam “lingkaran pendidikan” kok masih belum ada tanda-tanda prestasinya? Ada apa dengan pendidikan kita?
Hemat penulis adalah mereka “bermain” didalam ruang belajarnya. Jadi belajar “sambil bermain”, bisa juga terbalik “bermain sambil belajar”, bahkan yang paling parah adalah mengarah pada “belajarnya bermain-main”, tidak ada keseriusan yang Nampak dalam diri mereka. Time schedule-nya sudah bagus, ter-management dengan baik yaitu mengarah pada “system lingkaran pendidikan”. Akan tetapi yang masih bermasalah adalah “system pendidikannya”.
C.    Sebuah Tawaran Jalan keluar
1.      Ada langkah-langkah dan target
Seharusnya ada micro teaching yang baku dan management pendidikan yang rapi sehingga mengarah pada pembibitan dalam berprestasi, apa target yang mau diraih? Kalau waktu yang ditentukan dalam target ternyata kok meleset, harus cepat-cepat di evaluasi. Di cari apa yang jadi penghambat? dan bersama-sama kalau sudah bisa mengidentifikasi permasalah yang “menjadi penghambat” itu, harus dicari pula jalan keluarnya. Kalau dalam dewan pengajar tak mampu mencari solusi atau jalan keluarnya, cari seorang konsultan untuk meng-share-kan permasalahan yang terjadi. Intinya cari petunjuk pada yang ahli, bukan lewat jalan yang bersifat klenis, tapi yang rasional atau masuk akal. Katakanlah mendatangkan atau kita yang datang pada ahli konsultan sekolah. Nah, kalau sudah mendapat jawabannya, rapatkan lagi barisan untuk mengaplikasikan dalam sebuah program demi menyingkirkan penghambat dari prestasi yang telah di target-kan.
Untuk menopang dan menyalurkan bakat prestasinya
2.      Harus ada Media (bulletin, jurnal atau majalah).
Untuk menyalurkan bakat dalam dunia tulis menulis-menulis harus ada media untuk menulis. Media ini disamping sebagai pembakit ruh untuk menulis, sehingga ter-upayakan dan terlestarikan “budaya menulis”, juga bisa sebagai perbendaharaan koleksi perpustakaan. Semua siswa saya kira akan bangga kalau tulisannya masuk dalam media, diabadikan dalam sebuah karya, bulletin, jurnal ataupun majalah. Dengan demikian mereka akan termotivasi dalam hal tulis-menulis.
Dalam lingkup yang kecil bisa dalam bentuk bulletin, ini kalau satu unit lembaga, (misalnya khusus RA sendiri, MI sendiri, MTs sendiri atau SMA sendiri). Bisa pula dalam bentuk yang lebih luas, katakanlah untuk satu yayasan Hidayatus Salam, nah ini baru dalam bentuk jurnal atau majalah. 
3.      Adakan Kompetisi (sebagai ajang unjuk kebolehan/wawasan)
Lomba membaca puisi, cerdas cermat, berpidato (target untuk pildacil), adanya kompetisi akan memompa semangat untuk berkembang. Sekarang masyarakat demam audisi, nah di dalam audisi kompetisi itulah nanti akan diketemukan banyaknya bakat yang terpendam. 
4.       Maksimalisasi Ekstrakurikuler
Banyaknya ekstrakurikuler (voly, sepak bola, drum band, madding, computer, pramuka, bimbel) yang di ikuti para siswa, harus selalu dievaluasi. Jangan terkesan ada pembiaran. Yang sudah berjalan dengan baik di teruskan, yang masih belum maksimal di evaluasi dan dicarikan jalan keluar. Selama ini ekstrakurikuler tidak begitu berkembang dikarenakan ada anggapan itu adalah pelajaran sampaingan, yang hukumnya setaraf dengan sunah, bukan kewajiban untuk dilakukan oleh para pelajar. Padahal dari banyaknya ekstrakurikuler itulah kreativitas siswa akan bisa berkembang.
Ahad, 04 Maret 2012.
 


PAGUYUBAN: SUDAHKAH SESUAI HARAPAN?
(Refleksi atas “Gerak Liar” Paguyuban)
Oleh: Siswanto*

Kredibilitas seorang guru dipertaruhkan. Adanya paguyuban wali murid, ternyata masih belum bisa memberi harapan, juga belum bisa menjadikan sebagai jawaban dari segala kebuntuan. Kesenjangan antara wali murid dengan guru memang bisa menjadikan masalah, tapi terlalu dekatnya wali murid dan guru “tanpa aturan” juga ternyata bisa “blunder” dan menimbulkan masalah baru yang tak kalah kronisnya. Kehormatan atau kredibilitas seorang guru sekali lagi benar-benar dipertaruhkan.
Kami tahu maksud dari kepala sekolah membentuk sebuah paguyuban adalah, ingin menjadikan orang tua semakin peduli terhadap perkembangan belajar anaknya disekolah, tahu informasi yang ada disekolah, serta tukar pikiran antara wali murid dan wali kelasnya terjalin dengan seirama, serta yang terpenting adalah bisa “memajukan” sekolah. Tapi dalam perjalannya apakah itu semua sudah bisa tercapai? Niat yang semulia itu tentu wajar dijadikan rujukan, tapi yang pernah aku kawatirkan benar-benar terjadi. Wali murid semakin masuk dalam “lingkaran” kebijakan sekolah. Wali murid sudah berani “mengatur” guru-gurunya.
Disinilah akar masalahnya. Tiada aturan yang mengikat. Batas-batas aturan itu hanya sebatas lisan. Tak ada sanksi maupun teguran akan menjadikan sekedar “pepesan kosong”. Mereka (paguyuban) dengan mudahnya “menegur” guru-gurunya, sedangkan “kita” (guru-guru) tidak ada hak untuk “menegur” mereka. Fungsi “kepala sekolah” telah diambil alih oleh mereka. Bahkan mereka semakin “berani” melewati pagar-pagar batas kesopanan. Akhirnya mereka bukannya memberi “masukan”, akan tetapi bersifat “memerintah” atau “instruksi”. Bukan memberi “saran”, akan tetapi memberi “teguran”. Bisa dikatakan mereka telah berubah arah menjadi atasan atau “pengurus” yayasan. Apakah memang demikian fungsi dari paguyuban yang diharapkan?
Seharusnya ada “prosedur” yang jelas. Ketika ada masalah bagaimana mereka tidak “menyerang” kepribadi pengajar orang per orang secara “liar”. Dengan tidak “elegannya” kadang “di hadang ”ditengah jalan” mintak waktu untuk “bicara”, bukannya “silaturahim” malah terkesan “dhalim”. Jadi disembarang tempat bisa “ngomong” sama guru yang ada sangkut pautnya dengan anaknya. Apakah tidak ada tempat yang lebih baik selain “ditengah jalan” dan apakah ini yang diharapkan dari paguyuban?. Pertemuan wali murid-wali kelas “bulanan” ternyata masih belum bisa menjadi jawaban. Padahal, kalau benar-benar dimaksimalkan seharusnya bisa dijadikan media “sharing” bila ada permasalahan. Tapi kenyataannya tidak demikian, mereka masih menggunakan media tempat lain (di tengah jalan).
Sikap yang demikian kadang masih “mending”, ada juga yang kelewat batas, yaitu lewat “sms” dengan bebas dan pengecutnya melontarkan kata-kata yang tiada tertata rapi dan elegan, bahkan terkesan sampai liar diluar batas ambang ketidaksopanan (tanpa nama jelas pula). Mereka dengan entengnya menggunakan nada “protes dan menyerang” atau “mengintimidasi”. Ini meresahkan, bahkan bisa dikatakan sebagai terror. Jangan sampai Kita sebagai guru menjadi tidak nyaman lagi. Kita sudah tidak bisa berkonsentrasi mengajar lagi, tidak fokus pada perkembangan anak-anak atau pada pelajaran mereka lagi, kita justru merasa ada yang merong-rong dan bahkan bisa menjadi penghambat bagi kemajuan sekolah ini. Akhirnya kita tidak hanya menghadapi “masalah” yang ada sangkut pautnya dengan “anak-anak” didik kita, tapi juga memikirkan dan kosentrasi pula pada masalah “orang tua” mereka. (dalam hati kadang ku berfikir, gaji tak seberapa tapi tekanan batin begitu menggelora).

Tawaran Jalan Keluar (solusi)
Untuk itu Harusnya ada “managemen konflik” yang bagus. Ketika ada masalah, mereka harus jelas mengadu atau ngomong kemana? Penyampaian masalah kalau dengan cara elegan ada kemungkinan kita akan dengan lapang dada untuk menerima dari segala kesalahan, sebaliknya kalau dengan cara yang “liar” kita justru akan sulit untuk mendengar. Pertanyaannya: Kita yang “mengatur” atau yang “diatur” mereka?. Dibawah ini kami tawarkan beberapa jalan keluar dan kiranya sudi untuk dipertimbangkan;
1.    Di Bentuk “Badan Kehormatan” dan “Jubir Sekolah”.
Harus ada “badan kehormatan” dewan guru. Katakanlah begini, kita bentuk itu anggotanya siapa saja. Mereka yang menampung segala pengaduan atau keluhan dari luar, dan biar jelas yang berhak menjawab harus ditentukan siapa yang menjadi jubir (Juru bicara) dari sekolah ini.  Juga harus ada pula “call center” pengaduan, atau “kotak saran”. Kita berikan fasilitas pada mereka untuk menyampaikan “unek-uneknya” pada “prosedur” yang kita tentukan bersama.
2.    Dokumentasi meeting dan “evaluasi bulanan”.
Kalau kepala sekolah mengadakan pertemuan dengan paguyuban, sebelumnya harus diadakan pertemuan juga dengan dewan guru, ada tawaran barangkali ada titipan dari kami untuk mereka. Sebaliknya jika wali murid mengadakan pertemuan dengan wali kelas, apa yang disampaikan atau hasil dari pertemuan itu barangkali “masukan” buat kita, seharusnya dilaporkan pada kepala sekolahnya. Apa “oleh-oleh” dari pertemuan itu? Juga harus ada “notulenisasi atau dokumentasi” bukan sekedar secara lisan (wali kelas menulis di buku harian yang telah disediakan, begitu pula kepala sekolah harus menulis dari semua laporan wali kelas yang telah disampaikan). Sehingga diketahui Apa masalah dari kelas 1-6 bulan ini? lalu diagendakan dalam “evaluasi bulanan” bersama dengan dewan guru.

Terjadi ketidakseimbangan peran, kalau ada “keberhasilan” apakah sudah ada “apresiasi”?, sebaliknya kalau ada kesalahan malah saling “menghujat” dan “saling menyalahkan” bahkan ada yang terkesan “cuci tangan”. Ini tidak boleh dibiarkan secara berlarut-larut. Kalau masalah kecil tidak segera diselesaikan secara cepat, maka akan tinggal menunggu “bom waktu” yang meledak dan akan menjadi masalah yang besar bagi kita semua.
Bukannya kita haus dengan “kehormatan”, tapi “harga diri” guru harus dilindungi dan dipertahankan. Jangan sampai budaya “demokrasi” yang kita tawarkan pada mereka menjadi terkesan “anarki” (tidak dalam bentuk serangan atau hantaman fisik, tapi “menggempur” ruang privasi). Guru sekarang sudah terbatasi, tidak boleh menekan secara fisik (mencubit atau menyentuh anak-anak), yang bisa kita lakukan adalah hanya lewat pleasure (menekan) dalam bentuk “peraturan”. Untuk itulah mari kita bentuk aturan yang lebih jelas bagi “kita” dan “mereka”. Minimal kita berusaha men-sadar-kan fungsi kita sebagai “guru” dan men-sadar-kan fungsi mereka sebagai “orang tua”. Pendek kata tahu perannya masing-masing.


Manusia
Sosial
Keagamaan
Pendidikan



[1] Dipresentasikan di Ponpes. Al-Muhtarom dalam kajian Dirasah Islamiyah, pada tanggal 27 Juli 2011
[2] Istilah regiologi kadang dipahami dalam artian filsafat agama. Baca Abdul Karim Sorous, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, terj: Abdullah Ali (Bandung: Mizan, 2002), 97.
[3] Disampaikan pada tanggal 09 November 2011 pada kelas “musyawirot” di Pon. Pes Al-Muhtarom
[4] Disampaikan di Pon.Pes Al-Muhtarom, Rabo, 24 Januari 2012.
[5] Disampaikan pada kelas “musyawirot” di Pon.Pes Al-Muhtarom, Tanggal 11 April 2012


* Penulis adalah Staf Pengajar MI.HIdayatus Salam, (wali Kelas III A)

PONPES AL-MUHTAROM NGUNDUH MANTU

LOWAYU, 19/09/2016. IRING-IRINGAN SHOLAWAT BADAR GEMURUH DI LANTUNKAN GROUP SHOLAWAT AL MUBASYIROH DENGAN DI IRINGI REBANA UNTUK MENYAMBUT...